SURABAYA| lakon Sarip Tambak Oso dalam sebuah panggung ludruk akan tampil di gedung kesenian Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur di Jl. Gentengkali Surabaya, Jumat (8/9/2023) malam.

Di tulis dan di Sutradarai oleh Suyanto, S.Pd., perttunjukan ludruk “Pendekar Lor Kali” yang di mainkan oleh Ludruk Angling Dharma asal Bojonegoro pimpinan Kadarminto H.S ini di digelar oleh UPT Taman Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur (Disbudpar Jatim).
Kisah kepahlawanan Sarip Tambak Oso memang begitu melegenda di Jawa Timur. Pendekar legendaris “Lor Kali Porong” ini adalah salah satu contoh pembangkang pembayaran pajak pada Gouverment Belanda. Dia mencuri dan merampas harta milik penjajah, tuan
tanah, antek-antek Belanda, rentenir pencekik leher rakyat cilik. Namun bak Robin Hood, hasil jarahannya itu kembali Ia bagikan kepada kaum miskin yang tertindas dan sedikitpun tak ada yang dia nikmati sendiri beserta keluarganya.
Ketokohan seorang pendekar Sarip Tambak Oso ada dimasa Penjajahan Kolonial Belanda, VOC hingga usaha penguasaan wilayah Pemerintahan Negeri ini selalu mendapatkan perlawanan, baik secara individu maupun terorganisir.
Menurut Pak Dhe Suyanto (sutradara), pengambilan lakon cerita ini karena dilatarbelakangi oleh “Sarip Tambakoso” Sebagai salah satu cerita ludruk yang cukup populer dan identik sekali sebagai salah satu cerita ludruk jawa timur.
“Difokuskan oleh suatu daerah (Sidoarjo) bahasan tokoh Sarip dinilai dan dianggap ada sebagai tokoh anti kolonial. Adanya kontroversi di era perjuangan, ada yang berpendapat di masa VOC, ada yang menyimpulkan berjuang pada abad 19, ada yang mengkultuskan sebagai keluarga keturunan Sarip,” ujarnya, Kamis (7/9/2023).
Diceritakannya, tokoh Sarip melegenda dan identik sekali dengan lakon ludruk Jawa Timur. Lakon cerita ini ada beberapa cara penyajian, alur ceritanya sesuai kreatifitas sutradara. Ada kalanya sebuah sajian karya suatu garapan sutradara, sehingga seperti layaknya memutar ulang saja.
Banyak cerita di gedung pertunjukan atau hanya terbungkus dalam cerita dan tidak divisualisasikan. Lemahnya sanggit penulis cerita dan sutradara karena takut melawan pakem lakon.
Untuk itu, lanjut Pak Dhe Suyanto, Ia ingin menyajikan sajian lakon dengan sanggit cerita yang berbeda, namun tidak menabrak rel ceritanya. Sedangkan judul yang dipilih “Pendekar Lor Kali” adalah sebagai ajakan untuk berfikir secara geografis bahwa kali porong yang membujur di wilayah Sidoarjo adalah dari barat sebagai hulu dan mengalir ke timur bermuara ke laut.
“Sehingga jika ada dua tokoh pendekar mestinya pendekar lor kali dan kidul kali porong,” katanya. Dengan demikian, tokoh Sarip Tambak oso disebut dengan pendekar lor kali dan Paidi sebagai pendekar kidul kali,” katanya.
Kilas balik Sarip dimasa kecil yang biasanya tersampaikan melalui dialog dalam adegan, kali ini Pak Dhe mencoba memberikan sajian dalam bentuk visual adegan. Dalam konsep garap cerita penulis naskah ingin menyingkap dan menyampaikan kesan cerita ini sebagai tontonan, tuntunan, tatanan, serta titian kreatifitas.
Edukasi muatan cerita yang mudah dan indah untuk ditonton melalui alur cerita yang tersajikan. Flashback atau kilas balik akan tersajikan melalui konsep yang mungguh realistis bahkan
terkonsepkan dua masa kilas balik.
“Akan kami sampaikan pada naskah berikut, dua masa yaitu, saat Sarip masih kecil sebagai anak berkisar umur 7 tahun, dan saat Sarip masih dalam usia bayi dalam gendongan. Cerita inilah yang nantinya Sarip mengetahui dan
memahami siapa dirinya,” ucapnya.
Sejak kecil sudah dalam masa sulit, masa kolonial dan terdzolimi oleh ketamakan sang ridwan pamannya. Gejolak jiwa Sarip saat dewasa diwarnai oleh masalah-masalah kecil. jiwa mudanya akhirnya bergejolak melawan ketamakan, kesewenang-wenangan dan penjajahan serta ingin membela, menolong orang kecil dalam kemiskinan.(bongky handoyo)